BAB 28 - Dunia dengan Keburukannya
Tetapi, Yang Arya Ajita, betapa sedihnya, bahwa pandangan dari para umat demikian pendek dan melekat kepada keduniawian. Mereka rela mengejar hal-hal dan keperluan yang tidak begitu penting.
Sungguh menyedihkan, mereka selalu berjuang demi diri sendiri, demikian egois. Baik kaum terpandang maupun yang hina, yang kaya raya maupun yang miskin, yang tua maupun yang muda, pria maupun wanita, mereka semua amat merisaukan persoalan harta benda.
Awalnya, mereka yang sudah memiliki harta benda maupun yang tidak memiliki sesuatupun, mempunyai rasa khawatir yang sama. Hati mereka penuh dengan kecemasan dan kegelisahan.
Mereka dengan suka rela membebani diri mereka dengan kerisauan dan kegelisahan. Batin mereka benar-benar menderita dan merana. Karena itu, mereka tidak dapat hidup dengan tenang.
Seandainya mereka memiliki sawah dan ladang, mereka amat mengkhawatirkan sawah dan ladangnya.
Seandainya mereka memiliki rumah dan gedung, mereka amat mengkhawatirkan rumah dan gedungnya.
Begitu juga dengan pelayan, harta benda, sandang, pangan, berbagai keperluan, dan 6 jenis hewan ternak, seperti kerbau dan kuda, semua itu menjadi sumber kegelisahan mereka.
Seandainya mereka memiliki rumah dan gedung, mereka amat mengkhawatirkan rumah dan gedungnya.
Begitu juga dengan pelayan, harta benda, sandang, pangan, berbagai keperluan, dan 6 jenis hewan ternak, seperti kerbau dan kuda, semua itu menjadi sumber kegelisahan mereka.
Berpikir-pikir sampai berulang-ulang hingga nafasnya terengah-engah, mereka hidup dalam kegelisahan dan ketakutan.
Belum lagi kejadian tak terduga, seperti musibah banjir, kebakaran, perampokan, peperangan, dan penagih utang yang akan menghabiskan, membakar dan mengambil harta benda mereka.
Dan pada saat itu, saat seluruh harta benda yang mereka cemaskan musnah dan habis, kekhawatirannya semakin lama semakin parah dan tetap melekat di dalam hatinya.
Akan tetapi, mereka tidak mau sadar, kepalanya tetap demikian keras dan tidak mau membuang sedikit waktu untuk menganalisa apa sebab hingga demikian. Hanya menghabiskan sisa hidupnya di dalam kesedihan sebagai manusia yang gagal. Setelah mati, mereka pergi tanpa membawa apapun, dan tidak ada siapapun yang menemaninya.
Hal itu dialami semua orang yang termulia dan kaya raya. Semua terikat kepada kecemasan dan ketakutan. Mereka semua seperti mengalami demam panas dingin, amat menderita.
Adapun orang miskin yang serba kekurangan. Mereka tidak memiliki sawah dan ladang. Mereka juga tak memiliki rumah dan gedung. Mereka juga tidak memiliki pelayan, harta benda, sandang, pangan, berbagai keperluan, dan 6 jenis hewan ternak, seperti kerbau dan kuda.
Ada sebagian orang yang memiliki satu dari hal-hal itu, ada juga sebagian orang yang memiliki beberapa hal-hal itu. Mereka semua selalu berusaha memiliki semua hal-hal itu.
Namun, semua yang mereka miliki, pada akhirnya hal-hal itu lenyap. Dengan perasaan sakit dan sedih mereka mencoba mendapatkan lagi segalanya, namun sia-sia saja.
Semua harapan mereka tak dapat digapai, hanya menyisakan tubuh dan pikiran yang lelah. Didasari hasrat mereka kecemasannya tiada akhir. Mereka semua seperti mengalami demam panas dingin, amat menderita. Kesedihan itu juga dibawa hingga akhir hayatnya.
Yang Arya Ajita, umat manusia umumnya enggan berbuat baik, apalagi menjalani hidup suci, juga enggan menimbun jasa-jasa kebajikan. Setelah mati, mereka akan menempuh perjalanan panjang sebatang kara, melangkah ke alam kehidupan berikutnya tanpa mengetahui arah yang menuju ke alam kebahagiaan dan alam penderitaan.
Umat manusia: para orang tua, anak-anak, saudara, pasangan, kerabat, dan teman, seharusnya saling menyayangi dan menghargai satu sama lainnya, bukannya saling membenci dan bermusuhan.
Orang-orang yang mampu seharusnya membantu mereka yang tidak mampu, tidak boleh kikir. Terhadap sesama seharusnya cara bicara (Vaca) dan sikap jasmani (Raga) yang sopan santun, serta ramah tamah, tanpa bertentangan dengan tata karma.
Lagi, jika terjadi pertengkaran kecil haruslah segera diakhiri agar tidak terbawa hingga menjadi permusuhan besar pada kehidupan selanjutnya. Mengapa demikian ?
Karena semua tindak kekerasan yang dilakukan seseorang pada kehidupan ini tidak pasti segera membuahkan perseteruan hidup-mati. Tindak kekerasan itu hanya akan menyisakan racun kemarahan dan amarah beringas di dalam kesadaran terdalam (alaya vijnana) seseorang dan amat sulit dihilangkan. Setelah melewati beberapa kehidupan maka mereka akan saling melampiaskan dendamnya.
Karena semua tindak kekerasan yang dilakukan seseorang pada kehidupan ini tidak pasti segera membuahkan perseteruan hidup-mati. Tindak kekerasan itu hanya akan menyisakan racun kemarahan dan amarah beringas di dalam kesadaran terdalam (alaya vijnana) seseorang dan amat sulit dihilangkan. Setelah melewati beberapa kehidupan maka mereka akan saling melampiaskan dendamnya.
Di dunia ini, umat manusia hidup dengan penuh nafsu dan keinginan. Mereka sebetulnya terlahir dan meninggal seorang diri. Amat menyedihkan, datang sendiri dan pergi pun sendiri. Masing-masing harus menjalankan dan merasakan perjalanan hidupnya yang penuh suka dan duka seorang diri, tiada siapa pun yang dapat menggantikannya.
Hanya karma yang dapat menemani umat manusia. Kedua jenis karma, yang baik maupun yang buruk, adalah penentu keberuntungan dan kemalangan seseorang.
Setiap manusia mempunyai karma yang banyaknya tak terhingga yang menunggu giliran untuk berbuah, karma itu jugalah yang mengakhiri hidup seseorang dan menyeretnya menuju ke kehidupan selanjutnya tanpa orang itu tahu ke mana ia akan dilahirkan.
Setiap anggota keluarga memiliki karmanya sendiri-sendiri, baik itu karma baik maupun karma buruk yang tanpa mereka sadari, dan sewaktu-waktu, akibat buah karma mereka yang matang, semua anggota keluarganya akan terpisah dan menempuh kehidupan berikutnya sendiri-sendiri. Perpisahan itu akan sangat lama sekali, sukar sekali untuk dapat bersama-sama seperti dulu lagi.
Amat menyedihkan. Mengapa manusia di saat masih sehat dan kuat, tidak rela menghentikan keduniawian, dan mulai berusaha mengumpulkan jasa-jasa kebajikan sebanyak-banyaknya ?
Padahal, jika mereka mulai memupuk jasa-jasa kebajikan dan kemajuan batiniah, berusaha membebaskan diri dari belenggu lahir-mati, maka mereka akan mencapai hidup suci dengan usia tak terbatas.
Amat menyedihkan. Mengapa manusia di saat masih sehat dan kuat, tidak rela menghentikan keduniawian, dan mulai berusaha mengumpulkan jasa-jasa kebajikan sebanyak-banyaknya ?
Padahal, jika mereka mulai memupuk jasa-jasa kebajikan dan kemajuan batiniah, berusaha membebaskan diri dari belenggu lahir-mati, maka mereka akan mencapai hidup suci dengan usia tak terbatas.
Mengapa manusia tidak mau mencapai kebodhian ?
Apakah masih ada yang lebih agung untuk dicapai daripada pembebasan ?
Apakah masih ada yang lebih agung untuk dicapai daripada pembebasan ?
Yang Arya Ajita. Amat menyedihkan, kalau ada umat yang masih tidak yakin dengan kebenaran bahwa dengan berbuat kebajikan akan menghasilkan buah karma yang baik.
Sayang sekali jika ada umat yang belum bertekad mencapai kebodhian.
Bahkan ada umat yang tidak percaya ada kehidupan setelah kematian.
Juga ada yang tidak percaya kalau berdana, meskipun jumlahnya tidak banyak, akan dianugerahi kebahagiaan yang tak terhingga.
Ada umat yang sama sekali tidak mau menaruh kepercayaannya tentang akibat yang akan datang dari perbuatan baik atau jahat.
Mereka demikian keras kepala dan tidak ada kebijaksanaan. Mereka terikat kepada pandangan salah mereka dan mencoba mempelajari ajaran sesat.
Mereka mewariskan pandangan salahnya kepada generasi-generasi selanjutnya. Sang ayah mewariskan kesesatan kepada anaknya, seperti dahulu sang ayah diwariskan kesesatan oleh pendahulunya.
Mereka bukan saja tidak berbuat kebajikan dan menjaga moralitas, malahan keturunan mereka, dengan masa bodoh menutup sebelah mata, dan akibat pengetahuan sesatnya mereka tidak dapat membedakan antara hal baik dengan hal buruk, bahkan sama sekali tidak ada kepercayaan terhadap tumimbal lahir.
Orang-orang sesat itu tidak lagi mencari Dhamma. Mereka hanya bertindak sesuka hatinya tanpa peduli apakah akibat perbuatannya akan baik atau buruk, dapat memperoleh keberuntungan atau kemalangan. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan moralitas.
Saat buah karma berbuah, anggota keluarganya meninggal dunia. Orang tua menangisi mayat anaknya, atau anak menangisi mayat orang tuanya. Saudara dan suami istri saling menangisi kepergian orang tercinta.
Kematian tidaklah berjalan sesuai antrian. Tak ada kepastian bahwa orang yang terlebih dulu lahir akan mati dulu. Yang pasti adalah bahwa manusia tidak ada yang dapat hidup selamanya. Kebenaran seperti ini pun banyak yang tidak mempercayainya.
Padahal, hanya dengan pandangan benar seseorang dapat menghentikan perputaran kelahiran dan kematiannya. Namun, bagi mereka yang gelap batinnya tetap tidak peduli dan tidak percaya pada kebenaran Dhamma yang tertulis di dalam Sutra-Sutra.
Mereka tanpa berpikir panjang hanya mengharapkan kepuasan semu. Demi memenuhi nafsu keinginan mereka mengabaikan moralitas. Mereka tenggelam dalam lautan amarah dan kebencian, keserakahan serta nafsu indera.
Mereka dengan penuh semangat menapaki jalan kegelapan dan enggan mencari jalan kebenaran. Akibatnya mereka selalu berputar-putar tak berhenti di dalam roda kehidupan dan kematian, dan menderitalah mereka. Sungguh, amat menyedihkan.
Jika di sebuah keluarga terjadi duka cita, baik itu orang tua, anak, saudara, ataupun pasangan, yang ditinggalkan akan meratap kehilangan. Mereka tak mampu melepas yang ia cintai, dan pikiran mereka amat kalut.
Setelah sekian hari, sekian tahun hati mereka merasakan kepedihan, mereka masih begitu terikat padanya. Pada saat itu, bila ada yang memberi ajaran yang suci, mereka tetap menutup pikiran mereka karena mereka tidak menganggapnya sebagai suatu kenikmatan.
Setelah sekian hari, sekian tahun hati mereka merasakan kepedihan, mereka masih begitu terikat padanya. Pada saat itu, bila ada yang memberi ajaran yang suci, mereka tetap menutup pikiran mereka karena mereka tidak menganggapnya sebagai suatu kenikmatan.
Dalam kebingungan dan kebuntuan, mereka terjerumus di dalam khayalan. Mereka tidak lagi dapat berpikir dengan jernih dalam menentukan sikap dalam persoalan duniawinya dan mulai melirik ke ajaran Dhamma.
Namun, sayang sekali, baru saja menjejaki sang jalan beberapa langkah hayat mereka sudah berakhir. Gagallah mencapai kebodhian.
Namun, sayang sekali, baru saja menjejaki sang jalan beberapa langkah hayat mereka sudah berakhir. Gagallah mencapai kebodhian.
Terpaan masalah yang bertubi-tubi, dalam kebingungan orang-orang menjadi haus akan nafsu dan keinginan. Orang-orang yang berpikiran tidak rasional amat banyak, sementara yang tercerahkan amat sedikit.
Dunia ini amat ramai, namun tidak ada tempat bagi seseorang untuk berlindung. Orang yang mulia ataupun yang hina, yang berkedudukan tinggi ataupun yang rendah, yang kaya ataupun yang miskin, bangsawan ataupun rakyat jelata, semuanya hanya bekerja keras untuk kepentingan egonya, dan juga bersifat jahat seperti kebencian dan kegelapan batin.
Mereka melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan langit dan bumi, serta semua yang tidak manusiawi. Mereka merekrut orang-orang agar mengikuti semua keinginan dan perintahnya, hingga orang-orang itu tercemar kejahatannya.
Orang-orang seperti itu biasanya akan mengalami kematian sebelum waktunya. Lalu mereka akan terjatuh ke alam rendah selama beberapa kehidupan, selama ribuan koti kalpa, tak tahu kapan bisa keluar dari sana. Penderitaan mereka tak terlukiskan. Amat menyedihkan.