Halaman

BAB 19


BAB 19 - Penduduk Tanah Suci Amitabha Buddha


Yang Arya Ananda. Para makhluk yang dilahirkan di tanah suci Amitabha Buddha, semua memiliki tubuh fisik yang amat suci murni, suara yang merdu, dan juga memiliki berbagai kekuatan batin.


Istana yang dihuni para rakyat alam Sukhavati, pakaian, makanan dan minuman, dan semua hiasan, seperti bunga-bunga dan dupa, benda-benda itu hampir menyerupai yang ada di surga keenam.


Apabila sudah tiba waktunya makan, di dalam ruang makan akan muncul mangkuk yang terbuat dari 7 macam permata. Mangkuk yang terbuat dari emas, perak, lazuardi, indung mutiara, akik, bunga karang, amber, candramani, dan lainnya, muncul sesuai keinginan para umat.


Mangkuk-mangkuk itu secara spontan telah terisi penuh dengan makanan dan minuman yang memiliki ratusan aroma dan rasa. Walaupun hidangan itu telah muncul, namun, tidak ada seorang pun yang memakannya.


Mengapa demikian ?  Sebab umat yang telah melihat santapan itu, dan telah mencium aroma yang sangat enak itu, secara spontan juga mereka akan merasa puas dan kenyang. Mereka sudah menikmati seluruh santapan yang ada tanpa perlu menelannya.


Setelah waktu makan berlalu, mangkuk-mangkuk serta makanan-makanan tadi pun lenyap total, hingga waktu makan tiba lagi segalanya muncul kembali seperti biasa.


Alam Sukhavati demikian suci, damai, dan menakjubkan, hanya sedikit di bawah keadaan nibbana, yang terbebas dari sebab-akibat.



Yang Arya Ananda. Para Bodhisattva, Sravaka, serta para Dewa dan manusia, yang berada di alam Sukhavati, baik bentuk maupun kecerdasannya semuanya hampir serupa. Hanya saja, demi sesuai dengan adat-istiadat mereka yang datang dari berbagai dunia yang berbeda-beda, maka istilah seperti ‘Dewa’ dan ‘manusia’ masih tetap dipakai di tanah suci Amitabha Buddha.


Pada hakikatnya, mereka bukan beridentitas Dewa juga bukan beridentitas manusia. Badan jasmani mereka adalah badan ciptaan alamiah yang paling unik. Penampilan dan wajah mereka menawan tiada tandingan.


Sang Buddha memberitahu kepada Ananda :

“Yang Arya Ananda. Umpamanya, terdapat seorang pengemis di dunia berdiri di sisi seorang Raja yang perkasa. Dapatkah anda bayangkan perbandingan antara penampilan si pengemis dengan Raja itu ?”



 Ananda menjawab pertanyaan Sakyamuni Buddha :

“Sang Bhagava. Apabila orang semacam itu berdiri di samping seorang Raja, maka penampilan si pengemis, jarak ukuran cantik-jeleknya akan menjadi ratusan juta koti kali lipat di bawah sang Raja, atau sulit diperumpamakan.


Mengapa demikian ?  Si pengemis adalah kaum rendahan, dan pakaiannya tidak dapat menutupi seluruh bagian tubuhnya karena compang-camping ia bahkan sulit untuk bertahan hidup. Hidupnya selalu merasakan kelaparan, kedinginan dan kegelisahan, jauh di bawah standardisasi seorang manusia.


Semua kesengsaraannya berasal dari kehidupan masa silamnya, mereka tidak menanam benih karma baik. Kaya raya namun kikir. Mereka tidak mau membagikan sedikit kekayaannya untuk orang lain. Mereka hanya cenderung tamak dan bernafsu memiliki segala yang belum ia miliki, tidak pernah lelah dalam memuaskan keserakahannya. Ia tidak percaya pada perbuatan baik dan perbuatan jahatnya setinggi gunung.


Apabila mereka telah meninggal dunia, harta dan barang-barang berharganya sedikit demi sedikit habis semua. Harta benda yang dikumpulkan dengan kerja keras, dan menyebabkannya sedih dan derita, akhirnya tidak ada yang tersisa, semuanya kini berada di tangan orang lain.


Tanpa kebaikan dan kebajikan, setelah kematian ia jatuh ke alam sengsara untuk menjalani penderitaan yang amat panjang. Hingga suatu saat, buah karma buruknya telah habis, meskipun terlahir di alam manusia, namun ia akan menjadi orang yang terhina, bodoh dan kotor.


Seorang Raja adalah yang terhormat di antara banyak manusia, karena kebajikan yang telah dikumpulkan pada kehidupan masa lampaunya. Penuh perhatian dan murah hati, ia memberikan bantuan kepada yang memerlukannya dengan perasaan cinta kasih. Ia amat menjunjung tinggi kejujuran dan mengumpulkan segala macam karma baik, tidak pernah terlibat perselisihan.


Setelah meninggal dunia, karena adanya dukungan dari karma baik, ia terlahir kembali di alam bahagia. Ia dapat juga terlahir di surga untuk menikmati kebahagiaan. Dengan kekayaan kebajikan yang masih tersisa banyak, ia terlahir kembali ke alam manusia di dalam keluarga kerajaan.


Lahir sebagai orang mulia, bahkan penampilannya amat rupawan. Dihormati dan diabdi oleh semua rakyatnya, ia menggenakan pakaian mewah, dan menikmati makanan lezat sesuai seleranya. Dengan dukungan kebajikan yang pernah ia kumpulkan pada kehidupan lampau, kini, Raja menikmati kehidupan sebagai seorang Raja.”


Sang Buddha berkata :

“Betul, Yang Arya Ananda. Ucapanmu tidak salah sedikitpun. Akan tetapi, walaupun kedudukan Raja itu demikian berwibawa serta mulia, penampilannya demikian menawan, bila Raja itu dibandingkan dengan Raja dunia, Raja itu terlihat hina dan dekil, dan keadaannya tidak berbeda seperti seorang pengemis yang berada di sisinya.


Lagi, walaupun penampilan dari Raja dunia sedemikian mengagumkan, dan keanggunannya selalu dipuji dengan nilai nomor satu di alam semesta, tetapi bila dibandingkan dengan Raja Dewa Surga Trayastrimsa ia akan kalah 10.000 koti kali lipat.


Bila Raja Dewa Surga Trayastrimsa dibandingkan dengan Raja Dewa Surga keenam maka ia akan kalah 100.000 koti kali lipat.


Apabila Raja Dewa Surga keenam itu dibandingkan dengan para Bodhisattva, Sravaka dan lainnya yang berada di tanah suci Amitabha Buddha, yang penampilannya berkilau dan merona itu, Raja Dewa Surga keenam tersebut akan kalah hingga ratusan juta koti kali lipat.”